Jumat, 20 November 2015

Logat Wong Kediri

Logat Bahasa Khas Kediri



Setiap daerah biasanya mempunyai logat bahasa yang khas. Hanya dari tutur bahasa saja Kita bisa menebak sesorang berasal dari daerah mana. Seperti logat Ngapak yang menandakan dari daerah Tegal, Banyumas, Purwokerto dan sekitarnya.
Logat Kedirian
Begitu juga Kediri, ada beberapa logat/kata-kata khas kediri antara lain “Peh” – e seperti huruf e pada kata Teh. Walaupun “Peh” bukan monopoli Kediri, karena di daerah karisidenan kediri seperti Nganjuk, Tulungagung terkadang juga dijumpai logat ini.
Contoh penggunaan “peh” :  Peh, Dani ngguuuaya saiki, wis sugih ga gelem aruh-aruh.
logat kediri Logat Bahasa Khas Kediri
Logat Kedirian
Logat khas kediri yang kedua adalah “Nda”, kata ini sering digunakan sebagai sapaan aja.
Misalkan: Piye Kabare Ndaa?
atau digabungkan dengan“peh”=> Peh, Gunung kelud apik tenan Nda..
sering juga keduanya digabungkan dengan logat jawa timuran:
Peh, Gunung kelud uuuapik nda..
Dulu ketika kuliah di Malang mahasiswa asal kediri sering disindir dengan sebutan “Peh” icon smile Logat Bahasa Khas Kediri
Sama-sama Jawa beda Logat Inilah Indonesia raya, walaupun sama-sama jawa memakai bahasa Jawa, logat masih berbeda.
Logat Jawa timur:
Logat relatif kasar terutama Surabaya dan Malang yang mempunyai logat hampir sama. bahasa jawa yg digunakan kebanyakan Ngoko. Yang khas dari logat jawa timuran adalah untuk beberapa kata sifat dipanjangkan untuk menunjukkan lebih ata super. Misal ketika melihat bakso yg besar orang jatim bilang “baksone guuuedhi”,
“omahe Uuuadoh”..
Logat Jawa Tengah & Yogyakarta:
Bahasa jawa yang diguanakan lebih halus, sudah memakai bahasa jawa kromo. Kalau orang jawa timur ke jogja, pasti kedengaran kasar. Lain dengan Jatim, orang jawa tengah dan jogja untuk menunjukkan sesuatu yang lebih dari biasanya ditambahi “banget” misal: “gedhi banget”, “adoh banget”.
Pernah ketika ke Jogja naik Bus mini dan disamping saya seorang pemuda bertato, basa-basi saya tanya “Muduk ndi Mas?” Dia jawab “Mandap Condong catur”. Jawabannya halus, saya jadi malu Kebiasaan di Jawa timur dipakai di jogja.
Bahasa/logat unik daerah lain
Selain logat bahasa ada juga struktur bahasa lain yang unik misalkan boso walikan / Bahasa Kebalikan khas malang. Misal Saya = Ayas, Bakso jadi Oskab, Mobil = Libom dsbnya. Konon bahasa walikan ini muncul pada waktu jaman perang penjajahan. Fungsinya untuk mempersulit lawan untuk membaca pesan atau memahami percakapan mereka. Kalo memakai enkripsi kayak tentara jerman dan rusia pada waktu perang dunia II ya sulit icon smile Logat Bahasa Khas Kediri .
Di Jogja/Yogyakarta ada juga bahasa substitusi, memakai susunan huruf jawa yang di balik susunannya. Misal: Dagadu = Matamu, dab = mas (sapaan)
lebih jelas silahkan baca bahasa walikan jogja dari sultan cahandong
sama seperti bahasa walikan malang, bahasa prokem jogja ini juga untuk berkomunikasi dengan kawan tanpa diketahui oleh musuh (Belanda).
Mungkin ada logat kediri yang lain tapi umum digunakan misal Cah untuk menyebut seseorang. Di Surabaya dan Malang meyebutnya Arek.
Peh, Wongkediri Ndaa.. ^_^

Sejarah KediriKu

ASAL MULA NAMA KEDIRI DAN HARI JADINYA

Nama Kediri ada yang berpendapat berasal dari kata "KEDI" yang artinya "MANDUL" atau "Wanita yang tidak berdatang bulan".

Menurut kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, 'KEDI" berarti Orang Kebiri Bidan atau Dukun. Di dalam lakon Wayang, Sang Arjuno pernah menyamar Guru Tari di Negara Wirata, bernama "KEDI WRAKANTOLO". Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng, "KEDI" berarti Suci atau Wadad.

Di samping itu kata Kediri berasal dari kata "DIRI" yang berarti Adeg, Angdhiri,menghadiri atau menjadi Raja (bahasa Jawa Jumenengan).

Untuk itu dapat kita baca pada prasasti "WANUA" tahun 830 saka, yang diantaranya berbunyi :



"Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban",artinya : pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban. Nama Kediri banyak terdapat pada kesusatraan Kuno yang berbahasa Jawa Kuno seperti : Kitab Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Kitab Calon Arang. Demikian pula pada beberapa prasasti yang menyebutkan nama Kediri seperti : Prasasti Ceker, berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar Kecamatan Mojo. Dalam prasasti ini menyebutkan, karena penduduk Ceker berjasa kepada Raja, maka mereka memperoleh hadiah, "Tanah Perdikan". Dalam prasasti itu tertulis "Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri" artinya raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri. Prasasti Kamulan di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek yang berangkat tahun 1116 saka, tepatnya menurut Damais tanggal 31 Agustus 1194.Pada prasasti itu juga menyebutkan nama, Kediri, yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur."Aka ni satru wadwa kala sangke purnowo", sehingga raja meninggalkan istananya di Katangkatang ("tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri").

Menurut bapak MM. Sukarto Kartoatmojo menyebutkan bahwa "hari jadi Kediri" muncul pertama kalinya bersumber dari tiga buah prasasti Harinjing A-B-C, namun pendapat beliau, nama Kadiri yang paling tepat dimunculkan pada ketiga prasasti. AlasannyaPrasasti Harinjing A tanggal 25 Maret 804 masehi, dinilai usianya lebih tua dari pada kedua prasasti B dan C, yakni tanggal 19 September 921 dan tanggal 7 Juni 1015 Masehi. Dilihat dari ketiga tanggal tersebut menyebutkan nama Kediri ditetapkan tanggal 25 Maret 804 M. Tatkala Bagawanta Bhari memperoleh anugerah tanah perdikan dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang tertulis di ketiga prasasti Harinjing.

Nama Kediri semula kecil lalu berkembang menjadi nama Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal hingga sekarang.Selanjutnya ditetapkan surat Keputusan Bupati Kepada Derah Tingkat II Kediri tanggal 22 Januari 1985 nomor 82 tahun 1985 tentang hari jadi Kediri, yang pasal 1 berbunyi "Tanggal 25 Maret 804 Masehi ditetapkan menjadi Hari Jadi Kabupaten Kediri.


MENGUKIR KEDIRI LEWAT TANGAN BHAGAWANTA BARI.

Mungkin saja Kediri tidak akan tampil dalam panggung sejarah, andai kata Bagawanta Bhari, seorang tokoh spiritual dari belahan Desa Culanggi, tidak mendapatkan penghargaan dari Sri Maharaja Rake Layang Dyah Tuladong. Boleh dikata, pada waktu itu Bagawanta Bhari, seperti memperoleh penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha, kalau hal itu terjadi sekarang ini. Atau mungkin seperti memperoleh penghargaan Kalpataru sebagai Penyelamat Liangkungan. Memang Kiprah Bagawanta Bhari kala itu, bagaimana upaya tokoh spiritual ini meyelamatkan lingkungan dari amukan banjir tahunan yang mengancam daerahnya. Ketekunannya yang tanpa pamrih inilah akhirnya menghantarkan dirinya sebagai panutan, sekaligus idola masyarakat kala itu. Ketika itu tidak ada istilah Parasamya atau Kalpataru, namun bagi masyarakat yang berhasil dalam ikut serta memakmurkan negara akan mendapat "Ganjaran" seperti Bagawanta Bhari, dirinya juga memperoleh ganjaran itu berupa gelar kehormatan "Wanuta Rama" (ayah yang terhormat atau Kepala Desa) dan tidak dikenakan berbagai macam pajak (Mangilaladrbyahaji) di daerah yang dikuasai Bagawanta Bhari, seperti Culanggi dan Kawasan Kabikuannya.

Sementara itu daerah seperti wilayah Waruk Sambung dan Wilang, hanya dikenakan "I mas Suwarna" kepada Sri Maharaja setiap bulan "Kesanga" (Centra).Pembebasan atas pajak itu antara lain berupa "Kring Padammaduy" (Iuran Pemadam Kebakaran),"Tapahaji erhaji" (Iuran yang berkaitan dengan air), "Tuhan Tuha dagang" (Kepala perdagangan), "Tuha hujamman" (Ketua Kelompok masyarakat), "Manghuri" (Pujangga Kraton), "Pakayungan Pakalangkang" (Iuran lumbung padi), "Pamanikan" (Iuran manik-manik, permata) dan masih banyak pajak lainnya.


Kala itu juga belum ada piagam penghargaan untuknya. maka sebagai peringatan atas jasanya itu lalu dibuat prasasti sebagai "Pengeleng-eleng" (Peringatan). Prasasti itu diberi nama "HARINJING B" yang bertahun Masehi 19 September 921 Masehi. Dan disebitlah "Selamat tahun saka telah lampau 843, bulan Asuji, tanggal lima belas paro terang, paringkelan Haryang, Umanis (legi). Budhawara (Hari Rabo), Naksatra (bintang) Uttara Bhadrawada, dewata ahnibudhana, yoga wrsa.Menurut penelitian dari para ahli lembaga Javanologi, Drs. M.M. Soekarton Kartoadmodjo, Kediri lahir pada Maret 804 Masehi. Sekitar tahun itulah, Kediri mulai disebut-sebut sebagai nama tempat maupun negara. Belum ada sumber resmi seperti prasasti maupun dokumen tertulis lainnya yang dapat menyebutkan, kapan sebenarnya Kediri ini benar-benar menjadi pusat dari sebuah Pemerintahan maupun sebagai mana tempat.Dari prasasti yang diketemukan kala itu, masih belum ada pemisah wilayah administratif seperti sekarang ini.

Menurut penelitian dari para ahli lembaga Javanologi, Drs. M.M. Soekarton Kartoadmodjo, Kediri lahir pada Maret 804 Masehi. Sekitar tahun itulah, Kediri mulai disebut-sebut sebagai nama tempat maupun negara. Belum ada sumber resmi seperti prasasti maupun dokumen tertulis lainnya yang dapat menyebutkan, kapan sebenarnya Kediri ini benar-benar menjadi pusat dari sebuah Pemerintahan maupun sebagai mana tempat.Dari prasasti yang diketemukan kala itu, masih belum ada pemisah wilayah administratif seperti sekarang ini.

Adanya Kabupaten dan Kodya Kediri, sehingga peringatan Hari Jadi Kediri yang sekarang ini masih merupakan milik dua wilayah dengan dua kepala wilayah pula. Menurut para ahli, baik Kadiri maupun Kediri sama-sama berasal dari bahasa Sansekerta, dalam etimologi "Kadiri" disebut sebagai "Kedi" yang artinya "Mandul", tidak berdatang bulan (aprodit). Dalam bahasa Jawa Kuno, "Kedi" juga mempunyai arti "Dikebiri" atau dukun.

Menurut Drs. M.M. Soekarton Kartoadmodjo, nama Kediri tidak ada kaitannya dengan "Kedi" maupun tokoh "Rara Kilisuci". Namun berasal dari kata "diri" yang berarti "adeg" (berdiri) yang mendapat awalan "Ka" yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti "Menjadi Raja". Kediri juga dapat berarti mandiri atau berdiri tegak, berkepribadian atau berswasembada. Jadi pendapat yang mengkaitkan Kediri dengan perempuan, apalagi dengan Kedi kurang beralasan. Menurut Drs. Soepomo Poejo Soedarmo, dalam kamus Melayu, kata "Kediri" dan "Kendiri" sering menggantikan kata sendiri. Perubahan pengucapan "Kadiri" menjadi "Kediri" menurut Drs. Soepomo paling tidak ada dua gejala. Yang pertama, gejala usia tua dan gejala informalisasi. Hal ini berdasarkan pada kebiasaan dalam rumpun bahasa Austronesia sebelah barat, di mana perubahan seperti tadi sering terjadi.

27 Juli 879 M (Kota Kediri)

Sebagian anggota tim penelusuran hari jadi Kota Kediri, yang terdiri dari para sejarawan dan arkeolog, berpendapat bahwa hari jadi Kediri jatuh pada 27 Juli, sesuai dengan prasasti Kwak yang ditemukan di Desa Ngabean, Magelang, Jawa Tengah. Prasasti bertanggal 27 Juli 879 Masehi ini menyebut kata "Kwak", yang kebetulan adalah nama sebuah desa di Kediri. Daerah ini sampai sekarang masih ada. Sebagian lagi menganggap ulang tahun Kediri seperti tertulis di prasasti Hanjiring A (25 Maret 804 Masehi). Tapi ada pula yang memakai prasasti Hanjiring B bertanggal 19 September 921 Masehi sebagai patokan. Kontroversi kian hangat di acara Pertemuan Ilmiah Arkeologi Nasional dan Kongres Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, yang digelar pada 23-28 Juli 2002 di Kediri. Para peserta mempertanyakan validitas penetapan hari jadi Kediri berdasarkan prasasti Kwak. Versi mana yang benar? Bagaimana pula sebetulnya cara menentukan hari jadi dan usia sebuah kota? Secara arkeologis, kata Edi Sedyawati, guru besar arkeologi Universitas Indonesia, sulit mencari parameter baku untuk menentukan hari jadi sebuah kota. Dan mengingat kota pada umumnya tumbuh secara berangsur-angsur, tidak mudah memastikan pada tahap mana sebuah kelompok hunian bisa disebut kota. Karena itu, banyak kota di Indonesia, termasuk Kediri, menentukan hari jadinya semata-mata berdasarkan prasasti atau situs peninggalan kuno yang dapat ditemukan. Menurut Edi, yang juga bekas direktur jenderal kebudayaan, penentuan hari jadi sebuah kota sering kontroversial karena ada dua aliran pemikiran. Aliran pertama menganggap hari jadi sebuah kota ditentukan dari sejak kapan suatu hunian (kota) diketahui pertama kali ada berdasarkan peninggalan benda-benda, seperti keramik, misalnya. Aliran kedua memandang hari jadi sebuah kota ditentukan oleh sejak kapan ia diberi nama seperti itu dalam prasasti tertua yang ditemukan. Kedua aliran bertumpu pada temuan benda kuno. Itu sebabnya arkeologi menjadi disiplin ilmu yang paling berperan menentukan usia sebuah kota. Namun, tidak selalu mudah menemukan artefak semacam itu. Tidak mudah pula menentukan umur sekeping keramik yang tertimbun tanah ratusan tahun. Karenanya, banyak disiplin ilmu lain, seperti sejarah politik dan sosial, untuk mendukung atau menguji sebuah temuan arkeologis. "Arkeologi sangat penting untuk meneguhkan sesuatu yang sudah disimpulkan oleh sejarah," kata Moehamad Habib Mustopo, guru besar arkeologi Universitas Negeri Malang. "Sejarah berdasarkan dokumen, arkeologi berdasarkan material culture," dia menambahkan. Habib mengatakan, kajian arkeologi dimulai dengan pelacakan ada-tidaknya material culture suatu tempat. Material culture itu bisa berupa artefak (benda-benda yang sengaja dibuat manusia, misalnya prasasti, arca, patung) atau situs (lokasi artefak berada). Pelacakannya bisa berdasarkan sumber tertulis melalui epigrafi (penelitian tulisan prasasti) ataupun filologi (penelitian tulisan yang cenderung ke fiksi atau kesusastraan). Setelah itu, arkeologi akan menguji validitas artefak yang ditemukan dan mencocokkannya dengan artefak pendukung lainnya. Tahap berikutnya adalah melakukan penafsiran terhadap semua temuan budaya, melibatkan para ahli dari pelbagai disiplin ilmu. Ahli fisika, misalnya, diperlukan untuk melakukan analisis karbon untuk menguji usia suatu benda. Baru setelah itu dilakukan penjelasan akhir tentang kesimpulan yang didapat setelah dilakukan uji metodologis. Pada kasus Kediri, tahap-tahap itu sebetulnya juga telah dilakukan. Ketua Tim Kajian Sejarah dan Budaya IKIP PGRI Kediri, Heru Marwanto, menyatakan pihaknya telah melakukan riset panjang soal penentuan hari jadi tersebut dengan meneliti semua prasasti yang ada. Dan di antara beberapa catatan sejarah, prasasti Kwak atau prasasti Ngabean-lah yang paling bisa dipertanggungjawabkan validitasnya. Terdiri atas lima artefak, prasasti itu sekarang disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Prasasti berbentuk lempengan tembaga berukuran 35,7 x 32,8 sentimeter dengan huruf Jawa kuno itu menyebut-nyebut soal adanya penganugerahan tanah tegalan (tgal) di Kwak seluas 4 tampah (meter persegi) untuk dijadikan areal sawah dengan status semacam tanah perdikan (sima). Kwak adalah nama sebuah kampung dan tempat pemandian yang sangat dikenal oleh masyarakat Kediri. "Selain itu, seluruh prasasti Kwak juga menyebut soal adanya pajak dan tata pemerintahan di sebuah kawasan yang dikenal sebagai Kediri," kata Heru Marwanto, yang juga Rektor Universitas Kediri. Jadilah prasasti Kwak dipakai sebagai "dasar hukum" untuk menentukan hari jadi dan umur Kediri. Masalahnya, para arkeolog masih berbeda penafsiran. Menurut Habib, kata "Kwak" yang dimaksud prasasti belum tentu nama tempat di Kediri. "Sejauh mana 'Kwak' yang disebut dalam prasasti itu mengacu pada Kediri?" tanya Habib, "Bukankah nama tersebut bisa berarti sebuah lokasi di tempat lain?" "Selain itu, ada sejumlah prasasti yang sebenarnya juga bisa dipakai sebagai pijakan dalam menentukan hari jadi dan usia Kota Kediri," kata Habib. Ada prasasti Pamotan bertanggal 20 November 1042 Masehi (periode Airlangga), misalnya, juga prasasti Hantang bertanggal 7 September 1135 (periode Jayabaya), dan prasasti Mula-Malurung yang bertahun 1255 Masehi (periode Singasari). Dari ketiga prasasti tersebut, menurut Habib, Hantang-lah yang punya argumen paling kuat karena jelas-jelas menyebut kata "Panjalu", yang identik dengan Kediri. Silang-sengketa itu belum berakhir. Itu sebabnya beberapa ilmuwan sering lebih menyandarkan diri pada dokumen sejarah yang lebih mutakhir. Dalam kasus Kediri, misalnya, hari jadi kota bisa ditentukan berdasarkan surat keputusan pembentukan administrasi kota itu pada era Republik Indonesia yang merdeka. "Cara ini yang paling valid," kata Edi. Adapun tentang umur sebenarnya Kota Kediri, orang tetap boleh memperdebatkannya. Wicaksono, Dwidjo U. Maksum (Kediri)

Jajanan Kediriku

JAJANAN KHAS KOTA KEDIRI



Kota Kediri adalah sebuah kota diProvinsi Jawa TimurIndonesia. Kota Kediri dengan luas wilayah 63,40 Km2 terbelah sungai Brantasyang membujur dari Selatan ke Utara sepanjang 7 Km. Di Kediri tersedia makanan dan oleh-oleh khas, sepertitahu takwa (tahu kuning), stik tahu, gethuk pisang, krupuk pasir dan nasi tumpang.

Tahu Takwa
Tahu Kuning Kediri, Atau sering juga disebut Tahu Takwa, merupakan produk unggulan Kediri, Jawa Timur. Makanan yang unik berwarna kuning ini sangat digemari masyarakat Kediri dan sekitarnya. Rasa yang khas, kenyal, bentuk yang unik, berbeda dengan tahu-tahu yang ada di pasaran sekarang ini. Diprediksi mulai diproduksi sekitar tahun 1920-an dan booming pada awal tahun 1950-an. Menjadi oleh-oleh khas Kediri, kota kecil di kaki Gunung Kelud, Jawa Timur.

Proses pembuatan
Kedelai direndam dulu selama enam jam. Setelah kulit arinya dapat terlepas, kemudian digiling menjadi adonan bubur halus. Kedelaiyang digiling akan berubah menjadi bubur encer kedelai putih. 

Selanjutnya, bubur encer putih ini dimasak usahakan Apinya tidak boleh terlalu besar dan juga tidak boleh mati. Jadi, seluruh bagian cairan kedelai bisa matang dengan sempurna.

Lalu setelah matang disaring dengan kain hingga terpisah dengan ampasnya (ampas ini biasanya ada yang membeli untuk diolah menjadi tempe menjes).

Cairan ini harus diaduk perlahan dengan takaran tertentu dicampuri cuka. Setelah menggumpal, barulah adonan lumat ini dituang dalam cetakan. Usai diratakan dan ditekan supaya padat, gumpalan tadi dipres dengan alat dari kayu. Supaya tahunya sama sekali tidak berair, alat pres tadi diberi empat gandulan besi. Masing-masing beratnya 20 kg. Setelah dipres dengan besi selama seperempat jam,tahu dipotong dan siap dijual.  Harga dari tahu takwa di Kediri rata-rata Rp 1.300/biji, kebanyakan di jual per 10 biji dan ditaruh dalam “besek” (anyaman dari bambu berbentuk kotak yang ada tutupnya).

Sampai disini proses pembuatan tahu sudah selesai, dan disinilah bedanya antara tahu biasa dengan tahu takwa atau tahu kuning Kediri, untuk pembuata tahu takwa harus melewati satu proses lagi yaitu Tahu putih tadi harus dimasak dalam campuran air dan tumbukan kunyit, serta sedikit garam. Itu sebabnya, rasa takwa gurih dan sedikit asin. Warnanyajuga kuning dan baunya lebih harum ketimbang tahu biasa. Tahu takwa juga enak dimakan begitu saja, tanpa dimasak terlebih dulu.

Stik Tahu
Kediri memang terkenal dengan produk tahu Takwa. Namun karena tahu tak mudah dibawa sebagai oleh-oleh dan kurang tahan lama, maka diadakan Modifikasi dari tahu tersebut ( koq kaya' otomotif aja yachh, pake di modifikasi). Dari hasil modif tersebut Yang paling khas adalah stik tahu. Produk ini banyak ditemukan di berbagai toko oleh-oleh.
Umumnya pembuat Stik Tahu berawal dari produsen Tahu. Produknya tahu sayur dan Tahu Takwa. Tahu sayur adalah tahu biasa berwarna putih. Sedangkan tahu takwa diberi warna kuning dengan merebusnya dalam air kunyit.


Proses pembuatan tahu dan stik tahu agak mirip. Bedanya dimulai sejak press (penekanan) tahu. untukStik Tahu, proses Pemerasannya mencapai 3 jam. "Jadi airnya diperas lebih banyak hingga tahunya agak pipih,".

Tahu pipih ini lalu diiris memanjang dan dijemur selama 3 hari jika cuaca bagus. Saat musim hujan. terpaksa Harus menggunakan mengoven hingga kering. Stik dianggap kering jika telah menyusut, keras dan mengeluarkan minyak. Jika dipatahkan, didalamnya pun telah padat. Setelah itu digoreng hingga matang dan renyah. Stik tahu pun siap disantap atau dijual. Rasanya mirip kerupuk berbahan tahu. Gurih dan renyah.
Stik Tahu umumnya dalam kemasan plastik seberat 1 ons. Di toko atau pasar, harganya bisa mencapai Rp 5-6 ribu per bungkus. Selain itu juga ada kemasan kecil yang dijual Rp 500 - Rp 1.000 per bungkus. Untuk para pedagang yang hendak mengemas ulang, Stik Tahu dijual dalam ukuran karung plastik. Stik tahu ini bisa bertahan hingga 5 bulan jika disimpan dalam kondisi baik dan tertutup rapat.

Gethuk Pisang
Selain tahu takwa, tidak lengkap rasanya kalau ke Kediri tidak membawa oleh-oleh gethuk pisang. Makanan ini sangat familiar jika anda datang ke Kediri. Rasanya yang manis legit akan menggoda selera anda untuk selalu ingin menikmatinya. Gethuk pisang biasanya juga disebut gethuk gedhang dalam bahasa jawa dan dikemas dengan bungkus daun pisang dan berbentuk seperti lontong.
Keberadaan gethuk sebagai jajanan khas Kediri sudah ada sejak turun temurun, belum jelas dari mana asal usul gethuk pisang itu sendiri. Harga yang ditawarkan cukup murah berkisar antara Rp 2.500-Rp 5.000, cukup tidak menguras kantong bukan?!. Gethuk pisang bisa didapatkan di sepanjang jalan anda ke Kediri. Biasanya juga ditawarkan oleh pedagang asongan di bis-bis maupun di lapak-lapak pinggir jalan sampai pusat oleh-oleh khas Kediri.
Sesuai namanya, gethuk pisang dibuat dari buah pisang. Bentuknya bulat panjang, sekitar 15 sentimeter, dan berwarna merah kecoklatan. Kemasannya biasa dibungkus dengan daun pisang. Gethuk pisang dibuat khusus dari pisang Raja Nangka. Raja Nangka pilih karena punya aroma dan rasa yang khas manis asam. Rasa manis asam inilah yang membuat rasa gethuk pisang men-jadi khas asam manis tanpa gula.
Pembuatannya memang tidak susah, hanya butuh ketelatenan saja. Jika anda sudah mengetahui caranya, tidak salah kan untuk mencobanya sebagai peluang bisnis di daerah anda. Karena hal ini cukup potensial untuk dikenalkan di daerah anda sebagai jajanan baru khas Kediri.

Kerupuk Pasir
SIAPA pun yang menyusuri jalan-jalan di Desa Bulusari, Kecamatan Tarokan, Kabupaten Kediri, pasti akan tertarik pada kesibukan warga setempat dalam bisnis kerupuk. Betapa tidak. Sebagian besar halaman rumah penduduk Bulusari, dipenuhi dengan ribuan kerupuk berbentuk lingkaran kecil, yang sedang dikeringkan. Sebagian berwarna putih, sebagian lagi ada yang berwarna merah, kuning, atau hijau.
"Kerupuk padang pasir", demikian orang Kediri sering menyebut. Sebagian lain menamai kerupuk itu dengan "kerupuk kediri", konon karena kerupuk yang sebelum dimakan harus digoreng dengan pasir itu, memang berasal dari Kediri.
Entah apa nama yang pas untuk kerupuk tersebut. Namun, yang pasti, usaha kerupuk padang pasir ini telah menjadi mata pencarian bagi ribuan warga Bulusari. Sehingga, desa itu bisa disebut sebagai pusat produksi, sekaligus pusat pemasaran kerupuk padang pasir.
Sederhana tetapi enak dan sehat. Itulah kerupuk pasir, salah satu jenis makanan ringan khas Kediri, Jawa Timur, yang pada setiap Ramadhan disukai banyak santri. Kerupuk ini disebut kerupuk pasir karena saat menggorengnya menggunakan pasir dan tidak menggunakan minyak goreng sebagaimana lazimnya.
Bahan baku kerupuk pasir ini hampir sama dengan bahan baku kerupuk pada umumnya. Di antaranya berasal dari terigu dan pati ketela pohon. Bahan baku ini diolah secara tradisional dan dibumbui, kemudian diiris tipis-tipis dan dikeringkan dengan cara dijemur. Setelah kondisinya ke

Peninggalan Sejarah Kediriku

1. Candi Penataran


     Candi termegah dan terluas di Jawa Timur ini terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar, pada ketinggian 450 meter dpl. Dari prasasti yang tersimpan di bagian candi diperkirakan candi ini dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kediri sekitar tahun 1200 Masehi dan berlanjut digunakan sampai masa pemerintahan Wikramawardhana, Raja Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1415.
2. Candi Gurah

http://bumikediri.blogspot.com
     Candi Gurah terletak di kecamatan di Kediri, Jawa Timur. Pada tahun 1957 pernah ditemukan sebuah candi yang jaraknya kurang lebih 2 km dari Situs Tondowongso yang dinamakan Candi Gurah namun karena kurangnya dana kemudian candi tersebut dikubur kembali.
3. Candi Tondowongso

     Situs Tondowongso merupakan situs temuan purbakala yang ditemukan pada awal tahun 2007 di Dusun Tondowongso, Kediri, Jawa Timur. Situs seluas lebih dari satu hektare ini dianggap sebagai penemuan terbesar untuk periode klasik sejarah Indonesia dalam 30 tahun terakhir (semenjak penemuan Kompleks Percandian Batujaya), meskipun Prof.Soekmono pernah menemukan satu arca dari lokasi yang sama pada tahun 1957. Penemuan situs ini diawali dari ditemukannya sejumlah arca oleh sejumlah perajin batu bata setempat.
     Berdasarkan bentuk dan gaya tatahan arca yang ditemukan, situs ini diyakini sebagai peninggalan masa Kerajaan Kediri awal (abad XI), masa-masa awal perpindahan pusat politik dari kawasan Jawa Tengah ke Jawa Timur. Selama ini Kerajaan Kediri dikenal dari sejumlah karya sastra namun tidak banyak diketahui peninggalannya dalam bentuk bangunan atau hasil pahatan.
4. Arca Buddha Vajrasattva

     Arca Buddha Vajrasattva ini berasal dari zaman Kerajaan Kediri (abad X/XI). Dan sekarang merupakan Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
5. Prasasti Kamulan
http://dimassahrul.files.wordpress.com
     Prasasti Kamulan ini berada di Desa Kamulan, Trenggalek, Jawa Timur. Prasasti ini dibuat dan dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Kertajaya, pada tahun 1194 Masehi, atau 1116 Caka. Melalui prasasti ini disebutkan bahwa hari jadi dari Kabupaten Trenggalek sendiri tepatnya pada hari Rabu Kliwon, tanggal 31 Agustus 1194. 
6. Prasasti Galunggung
     Prasasti Galunggung memiliki tinggi sekitar 160 cm, lebar atas 80 cm, lebar bawah 75 cm. Prasasti ini terletak di Rejotangan, Tulungagung. Di sekeliling prasasti Galunggung banyak terdapat tulisan memakai huruf Jawa kuno. Tulisan itu berjajar rapi. Total ada 20 baris yang masih bisa dilihat mata. Sedangkan di sisi lain prasasti beberapa huruf sudah hilang lantaran rusak dimakan usia. Di bagian depan, ada sebuah lambang berbentuk lingkaran. Di tengah lingkaran tersebut ada gambar persegi panjang dengan beberapa logo. Tertulis pula angka 1123 C di salah satu sisi prasasti. 



7. Prasasti Jaring

http://travellers2009.wordpress.com
     Prasasti Jaring yang bertanggal 19 November 1181. Isinya berupa pengabulan permohonan penduduk desa Jaring melalui Senapati Sarwajala tentang anugerah raja sebelumnya yang belum terwujud.vDalam prasasti tersebut diketahui adanya nama-nama hewan untuk pertama kalinya dipakai sebagai nama depan para pejabat Kadiri, misalnya Menjangan Puguh, Lembu Agra, dan Macan Kuning.
8. Candi Tuban
(dok. Kompas / Dody Wisnu Pribadi)
     Pada tahun 1967, ketika gelombang tragedi 1965 melanda Tulungagung. Aksi Ikonoklastik, yaitu aksi menghancurkan ikon – ikon kebudayaan dan benda yang dianggap berhala terjadi. Candi Mirigambar luput dari pengrusakan karena adanya petinggi desa yang melarang merusak candi ini dan kawasan candi yang dianggap angker. 
     Massa pun beralih ke Candi Tuban, dinamakan demikian karena candi ini terletak di Dukuh Tuban, Desa Domasan, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung. Candi ini terletak sekitar 500 meter dari Candi Mirigambar. Candi Tuban sendiri hanya tersisa kaki candinya. Setelah dirusak, candi ini dipendam dan kini diatas candi telah berdiri kandang kambing, ayam dan bebek. 
     Menurut Pak Suyoto, jika warga mau kembali menggalinya, maka kira – kira setengah sampai satu meter dari dalam tanah, pondasi Candi Tuban bisa tersingkap dan relatif masih utuh. Pengrusakan atas Candi Tuban juga didasari legenda bahwa Candi Tuban menggambarkan tokoh laki – laki Aryo Damar, dalam legenda Angling Dharma dan jika sang laki – laki dihancurkan, maka dapat dianggap sebagai kemenangan. 



9. Prasasti Panumbangan
http://tatkalam.blogspot.com
     Pada tanggal 2 Agustus 1120 Maharaja Bameswara mengeluarkan prasasti Panumbangan tentang permohonan penduduk desa Panumbangan agar piagam mereka yang tertulis di atas daun lontar ditulis ulang di atas batu. Prasasti tersebut berisi penetapan desa Panumbangan sebagai sima swatantra oleh raja sebelumnya yang dimakamkan di Gajapada. Raja sebelumnya yang dimaksud dalam prasasti ini diperkirakan adalah Sri Jayawarsa.
10. Prasasti Talan

     Prasasti Talan/ Munggut terletak di Dusun Gurit, Kabupaten Blitar. Prasasti ini berangka tahun 1058 Saka (1136 Masehi). Cap prasasti ini adalah berbentuk Garudhamukalancana pada bagian atas prasasti dalam bentuk badan manusia dengan kepala burung garuda serta bersayap. Isi prasasti ini berkenaan dengan anugerah sima kepada Desa Talan yang masuk wilayah Panumbangan memperlihatkan prasasti diatas daun lontar dengan cap kerajaan Garudamukha yang telah mereka terima dari Bhatara Guru pada tahun 961 Saka (27 Januari 1040 Masehi) dan menetapkan Desa Talan sewilayahnya sebagai sima yang bebas dari kewajiban iuran pajak sehingga mereka memohon agar prasasti tersebut dipindahkan diatas batu dengan cap kerajaan Narasingha. 
     Raja Jayabhaya mengabulkan permintaan warga Talan karena kesetiaan yang amat sangat terhadap raja dan menambah anugerah berupa berbagai macam hak istimewa.


Karakteristik Kediriku

KARATERISTIK DAERAH KEDIRI ( MAKANAN , CIRI KHAS , BUDAYA )



Kediri
adalah kota yang asri seperti pedomannya " asri kota kediri " tapi tahukah anda bagaimana seluk beluk kota kediri sendiri mengenai budaya dan makanan tradisional bahkan ciri khas kota kediri disini saya mau menjabarkan atau menceritakan berbagai hal menarik di Kediri

Check It's Out 

1. BUDAYA
     

        Budaya kota kediri mungkin anda tidak asing dengan istilah SENI TARI JARANAN oke mari kita bahas :) dikediri seni tari jaranan sangat populer sekali kenapa karena seni jaranan adalah salah satu budaya yang lahir di kediri ada banyak seni tari jaranan dengan berbagai banyaknya ragam tentang seni maka kota kediri sangat erat dengan namanya budaya lokal bukan tentang budaya luar kediri masyarakatpun sangat antusias jika berhubungan dengan budaya menandakan mereka sangat ingin melestarikan budaya seni jaranan ini

   Sejarah singkat tentang tari seni jaranan sebagai berikut

   Raja Airlangga memiliki seorang putri yang bernama Dewi Sangga Langit. Dia adalah orang kediri yang sangat cantik. Pada waktu banyak sekali yang melamar, maka dia mengadakan sayembara. Pelamar-pelamar Dewi Songgo Langit semuanya sakti. Mereka sama-sama memiliki kekuatan yang tinggi. Dewi Songgo Langit sebenarnya tidak mau menikah dan dia Ingin menjadi petapa saja. Prabu Airlangga memaksa Dewi Songgo Langit Untuk menikah. Akhirnya dia mau menikah dengan satu permintaan. Barang siapa yang bisa membuat kesenian yang belum ada di Pulau Jawa dia mau menjadi suaminya.


Ada beberapa orang yang ingin melamar Dewi Songgo Langit. Diantaranya adalah Klono Sewandono dari Wengker, Toh Bagus Utusan Singo Barong Dari Blitar, kalawraha seorang adipati dari pesisir kidul, dan 4 prajurit yang berasal dari Blitar. Para pelamar bersama-sama mengikuti sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit. Mereka berangkat dari tempatnya masing-masing ke Kediri untuk melamar Dewi Songgo Langit.

Dari beberapa pelamar itu mereka bertemu dijalan dan bertengkar dahulu sebelum mengikuti sayembara di kediri. Dalam peperangan itu dimenangkan oleh Klana Sewandono atau Pujangganom. Dalam peperangan itu Pujangganom menang dan Singo Ludoyo kalah. Pada saat kekalahan Singo Ludoyo itu rupanya singo Ludoyo memiliki janji dengan Pujangganom. Singa Ludoyo meminta jangan dibunuh. Pujangganom rupanya menyepakati kesepakatan itu. Akan tetapi Pujangganom memiliki syarat yaitu Singo Barong harus mengiring temantenya dengan Dewi Sangga Langit ke Wengker.

Iring-iringan temanten itu harus diiringi oleh jaran-jaran dengan melewati bawah tanah dengan diiringi oleh alat musik yang berasal dari bambu dan besi. Pada zaman sekarang besi ini menjadi kenong. Dan bambu itu menjadi terompet dan jaranan.

    Masayarakat kediri sampai sekarang tetap memegang teguh bagaimana budaya kediri bisa dilestarikan dari generasi ke generasi oleh sebab itu sampai saat inipun seni tari jaranan tetap ada .

2. MAKANAN KHAS




Makanan khas kota kediri dan wilayah sekitarnya adalah NASI PECEL siapa yang tidak tahu nasi pecel dari kota kediri yang terkenal sangat lezat dan cocok untuk kantong dompet anda ( murah ) dengan berjamurnya penjual nasi pecel bahkan telah sampai keluar kota kediri nasi pecel begitu sangat populer dari anak - anak sampai tua dengan hanya membayar 3000 rupiah anda sudah bisa menikmatinya dengan wadah bambu anyaman rotan serta alas pisang membuat anda lebih nyaman menyantapnya dengan keluarga bahkan teman anda  nasi pecel meskipun udah terkenal di seluruh indonesia tapi banyak dari mereka yang tidak tahu asal usul nasi pecel berikut sejarahnya check it's out




SEJARAH 



Pecel ialah suatu makanan yang menggunakan bumbu kacang sebagai komposisi utamanya dan disatukan dengan aneka jenis-jenis lainnya. Belum diketahui secara pasti darimana kata "pecel" dan pecel itu berasal. Dalam Bahasa Jawa pecel dapat diartikan dengan "tumbuk" atau "dihancurkan dengan ditumbuk". Beberapa daerah mengklaim mempunyai ke-khasan sendiri pada pecel di tiap- tiap kota. Namun menurut sejarah, pecel sangat familiar di daerah karesidenan Madiun dan kediri Jawa Timur.

Diperkirakan Pecel berasal dari kota Ponorogo, hal itu dikarenakan adanya kuliner Sate Ayam Ponorogo dan pentol goreng (biasa disebut pentol korea, singkatan dari kota reog asli) yang menggunakan bumbu kacang sebagai komposisi utama, yang juga merupakan komposisi bumbu utama pada sajian kuliner Pecel. Makanan ini juga mirip dengan Gado-Gado, walau ada perbedaan dalam bahan-bahan yang digunakan. Pecel juga memiliki berbagai macam tekstur, namun biasanya tekstur pecel adalah kasar dengan kacang yang tidak hancur merata.

Olahan-olahan dari pecel sendiri adalah macam-macam. Namun pecel dapat digunakan sebagai campuran rujak, campuran ketupat, dan sebagainya. Penggunaan pecel itu sendiri beragam, mulai dari nasi pecel hingga lontong pecel. Pecel bukan hanya dapat dikonsumsi sebagai makanan yang sederhana, namun pecel juga dapat dimanfaatkan sebagai makanan wajib untuk menambah protein. Bahkan, salah satu kota di Jawa Timur menyatakan bahwa pecel dijadikan sebagai makanan yang paling populer di semua kalangan.



3. CIRI KHAS KOTA KEDIRI 





Ini adalah suatu kebanggaan untuk warga kediri karena mempunyai icon yaitu MONUMEN SIMPANG LIMA GUMUL yang terletak di daerah gumul kabupaten kediri dengan berdirinya Simpang Lima Gumul anda pasti akan mengetahui bahwa anda sudah sampai di kediri yang berasal dari luar kediri bahkan bagi anda yang belum kesana saya rekomendasikan karena sangat sangat menakjubkan karena rumah saja cuma 1 kilometer dari pusatnya , ada beberapa fungsi dari simpang lima gumul sebagai berikut :
1.Menjadi icon kota sekaligus menjadi pengatur pusat lalu lintas di kediri

2. Sebagai aset pariwisata di daerah kediri

3. Sebagai sarana penunjang kebutuhan masyarakat

dan lain lain masih banyak lagi ..

Ini kutipan sekilas tentang MONUMEN SIMPANG LIMA GUMUL

 
Kawasan Simpang Lima Gumul adalah tempat bertemunya arus lalu lintas sari lima arah, dari arah Kota Kediri, Kec.Pare, Kec.Pagu, Kec,Pesantren dan Kecamatan Gurah, sebagai jantungnya adalah Monumen Simpang Lima Gumul. Monumen Simpang Lima Gumul terletak di Desa Tugurejo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri.

Monumen Simpang Lima Kediri Merupakan aset berharga yang menceritakan tentang sejarah sejarah yang dibangun pada tahun 2004 oleh bupati kabupaten kediri didukung oleh walikota dan gubernur .

Kebudayaan Khas Kediriku

Kebudayaan Daerah Kota Kediri
Larung Sesaji Gunung Kelud
Alkisah kerajaan Bandarangin, rajanya bernama Joko Lodro bergelar Maheso Suro dan Patihnya, ‘adik sang raja’ bernama Singo Lodro bergelar Jata Suro. Sang Raja Maheso Suro menyuruh adiknya untuk melamarkannya seorang Ratu yang cantik jelita dari kerajaan Dahanapura.
Ketika Jata Suro melihat kecantikan Dewi Kilisuci, ia berbalik hati ingin mempersuntingnya sendiri Dewi Kilisuci. Oleh karena itu ia membunuh Mahesa Sura, agar bisa mempersunting Dewi Kilisuci. Setelah berhasil membunuh kakaknya, Jata Suro melamar Dewi Kilisuci, namun Dewi Kilisuci memberi syarat agar dibuatkan sumur di daerah Kelud sampai keluar airnya dan diselesaikan sebelum fajar tiba.
Patih Pujanggeleng bersama Dewi Kilisuci bersiasat, prajurit yang telah siap membawa tombak-tombak kelor disiagakan di dekat sumur, ketika telah dekat sumur Patih memasukan boneka tiruan Dewi Kilisuci ke dalam sumur, tanpa pikir panjang Jata Sura langsung meloncat masuk ke dalam sumur untuk menolongnya sebab ia khawatir akan keselamatan sang Dewi.
Setelah Jata Suro berada di dalam sumur, tombak-tombak kelor beserta batu-batuan dilemparkan ke dalam sumur oleh prajurit Dahanapura sampai penuh, dan akhirnya tamatlah riwayat Jata Sura.
Sebelum ajalnya Jata Suro mengeluarkan sesumbar:
“Yoh wong Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping-kaping yoiku, Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi Latar, Tulungagung Bakal dadi kedhung”
Artinya: “Hai.. orang Kediri besok akan mendapat pembalasan saya yang berkali-kali, yaitu Kediri akan menjadi sungai, Blitar akan jadi halaman (datar/rata), Tulugagung menjadi telaga”
Sedangkan tumpukan-tumpukan batu yang menggunung, kemudian masyarakat Kediri menyebutnya Gunung Kelud.
TOLAK BALAK
Berangkat dari legenda dan sesumbar Jatasura tersebut di atas maka masyarakat sekitar daerah Kelud sengaja membuat tolak balaknya sendiri-sendiri, tujuannya meredakan kemarahan Jata Sura yang setiap saat akan menghancurkan daerah sekitarnya bersama-sama dengan letusan dan lahar gunung kelud. Tiap-tiap desa telah mempunyai prosesi sendiri-sendiri yakni, ada menyiapkan sesaji, ada yang melaksanakan kenduri (selamatan) dan lain-lain, yang dilaksanakan pada setiap bulan sura.
Adapun tolak balak yang dilakukan Masyarakat Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri. Desa yang berada di sisi sebelah barat gunung kelud, menyelenggarakan Upacara Adat Tradisi yang disebut “Larung Sesaji Gunung Kelud”, yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat sebagai bentuk rasa syukur atas perlindunganNya dari ancaman Lembu Sura yang diyakini masyarakat setempat.
Kegiatan upacara adat tradisi ini telah dilaksanakan setiap tahun secara turun temurun pada bulan sura kegiatan ini sampai saat tetap berlangsung, dengan peserta yang hadir dari berbagai kalangan masyarakat.
Sebab diyakini oleh masyarakat setempat bahwa Gunung Kelud merupakan tempat pertemuan roh-roh halus se-Jawa-Bali. Hal ini ditandai dengan banyaknya orang-orang Bali dan sekitarnya yang ikut mengadakan sesaji di Gunung Kelud.

Jumat, 13 November 2015

Candi-Candi Di Kediriku


Penemuan Archa Di Kedir

KEDIRI- Penemuan   benda-benda yang diperkirakan peninggalan zaman Kerajaan Kadiri itu di areal persawahan Dusun Babadan, Desa Sumber Cangkring, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri beberapa hari lalu diyakini Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan merupakan bagian dari bangunan candi.Menurut Kepala Bp3 Trowulan, I Made Kusumajaya Indikasi itu juga diperkuat dengan adanya sungai kecil, dua buah umpak (alas tiang rumah dari batu), dan batu besar di sekeliling situs tersebut.
“Adanya relief bergambar Kala dan banyaknya batu bata kuno yang berserakan ini mengindikasikan di dalam tanah ini ada bangunan berbentuk candi,” kata di lokasi penemuan benda cagar budaya di Dusun Babadan, Rabu (10/9)
Menurut Made, Ia perkirakan  bentuk arsitektur candi di Dusun Babadan itu sama dengan candi-candi yang ada di Jawa Tengah yang dibangun pada masa transisi Kerajaan Mataram Hindu.
”Ini sesuai dengan Prasasti Empu Senduk yang menjelaskan, bahwa adanya perpindahan peradaban dari Jateng ke Jatim pada masa kerajaan dulu karena adanya wabah penyakit, bencana alam, dan serangan musuh,” ujar Made menambahkan
Namun demikian, lanjut dia, bukan tidak mungkin dalam perkembangannya candi yang ada di Dusun Babadan itu kemudian berubah menjadi areal pemukiman masyarakat Jawa pada abad ke-12.
“Kemudian kalau melihat fragmen-fragmen yang ditemukan warga bisa disimpulkan, bangunan candi itu rusak akibat bencana alam,” katanya.

Seperti diketahui Penggali batu bata di Kabupaten Kediri , secara tidak sengaja kembali menemukan beberapa benda peninggalan bersejarah pada Selasa (9/9).
Benda-benda yang diperkirakan peninggalan zaman Kerajaan Kadiri itu hingga Selasa sore ini masih berserakan di areal persawahan Dusun Babadan, Desa Sumber Cangkring, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri.
Syai’in (47) dan dua orang temannya, Hasan (27) dan Suprapto (23) tak menyangka jika di dalam tanah yang digali untuk bahan batu bata di tanah kas Desa Sumber Cangkring itu terdapat benda peninggalan bersejarah.
” Kami memang bekerja membuat batu-bata, seperti biasa, kami bertiga menggali tanah milik Pak Imam Syafi’i (Kaur Keuangan Desa Sumber Cangkring) untuk membuat batu bata,” kata Syai’in mengungkapkan awal penemuannya itu.
Ditambahkan Syai’in pada saat menggali tanah di sebelah timur lapangan sepak bola Dusun Babadan itu, tiba-tiba cangkulnya  mengenai batu cadas, Kamis (28/8) lalu. Dengan hati-hati ketiga kuli itu menggali tanah di sekitar batu cadas tadi.
Setelah diangkat dari kedalaman satu meter, ternyata batu tadi berupa fragmen gapura candi dengan relief berupa “Kala” sepanjang 48 sentimeter, tebal 35 sentimeter, dan lebar 45 sentimeter.
Dua hari kemudian ketiga orang itu tetap melanjutkan pekerjaannya membuat batu dengan menggali tanah yang berjarak sekitar dua meter sebelah selatan tempat ditemukan gapura candi.
Namun di kedalaman 1,45 meter, Syai’in dan kawan-kawan kembali menemukan benda aneh, Sabtu (30/8) lalu. Mereka pun menggalinya dengan hati-hati.
Saat diangkat dari dalam tanah, benda tersebut berupa arca Dwara Pala setinggi 98 sentimeter dengan ketebalan 76 sentimeter dan lebar 28 sentimeter.
Hari-hari berikutnya mereka kembali menjalankan aktivitasnya menggali tanah untuk bahan batu bata. “Setelah berselang beberapa hari, kami kembali menemukan benda aneh, Minggu (7/8),” katanya.
Benda yang ditemukan dalam galian sebelah timur arca Dwara Pala itu, bentuknya mirip kepala dewa setinggi 48 sentimeter dengan ketebalan 35 sentimeter dan lebar 45 sentimeter.
Sekitar satu meter di bawah kepala dewa tadi, Syai’in dan kawan-kawan juga menemukan sebuah arca Ganesha yang tingginya hanya 16 sentimeter, tebal 17 sentimeter, dan lebar 17 sentimeter.
Atas penemuan di lahanya oleh oleh anak buahnya tersebut Imam Syafi’i (Kaur Keuangan Desa Sumber Cangkring) kemudian melaporkan temuan tiga warga Dusun Babadan itu kepada petugas kepolisian, lokasi penemuan empat buah benda bersejarah itu mulai dipasangi garis polisi sejak Selasa pagi.
“Karena sudah ada garis polisi seperti ini, maka kami tidak diperkenankan lagi untuk melanjutkan pekerjaan membuat batu bata,” kata Imam Syafi’i.
Sekedar diketahui lokasi penemuan empat benda di Dusun Babadan itu berjarak sekitar tujuh kilometer dari lokasi penemuan Benda Cagar Budaya (BCB) Situs Tondowongso di Dusun Tondowongso, Desa Gayam, Kecamatan Gurah
Untuk memastikan temuan tersebut BP3 Trowulan  selanjutnya akan berkoordinasi  dengan Balai Arkeologi Yogyakarta karena benda-benda yang ditemukan warga Dusun Babadan mirip dengan benda-benda yang ditemukan warga di Dusun Tondowongso, Desa Gayam, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri pada 2007 lalu. Balai Arkeologi Yogyakarta sendiri sebelumnya telah melakukan penggalian tahap pertama Situs Tondowongso. 
Candi Surowono

Candi Surowono merupakan tempat hallowing Raja Wengker yang merupakan salah satu bawahan Raja pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Jadilah dalam bentuk bujursangkar dengan ukuran 8 x 8 meter dan dibangun dengan 1400 masehi.
Daya Tarik obyek wisata Candi Surowono adalah bangunan hasil karya sejarah peninggalan masa lalu dan terowongan bawah tanah; bangunan pemotongan diterbangkan oleh air jernih dengan jalan bercabang – terletak cukup banyak cabang ± 100 meter dari bangunan candi.

Candi Surowono, terletak di desa Canggu Kecamatan Pare, sekitar 25 km arah Timur Laut dari kota Kediri